Sejarah

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Asal Usul Desa Jawa Tengah di Sungai Ambawang




Seperti diketahui, Jawa Tengah adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Tapi bagaimana jadinya jika provinsi tersebut berubah menjadi desa di Kalimantan Barat? Inilah yang terjadi di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.

Desa Jawa Tengah merupakan satu diantara desa yang berada di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Luas Wilayah daratan Desa jawa Tengah kurang lebih 16,51 km². 

Desa Jawa Tengah terdiri dari tiga dusun, 18 RT dan 4 RW. Adapun dusun-dusun yang terdapat di Desa Jawa Tengah antara lain Dusun karya I, Karya II dan Karya III.

Disebut Desa Jawa Tengah karena rata-rata warganya merupakan pendatang yang sebagian besar dari Blora, Kebumen dan sebagian besar Yogyakarta. Boleh dikatakan hampir mencapai 95%. Tapi perlu diingat, ini bukan kawasan transmigrasi.

Awalnya, pendahulu mereka datang ke Kalimantan Barat sebagai pekerja dan akhirnya merimba hutan yang dijadikan sebagai tempat tinggal.

Seiring berjalannya waktu, kawasan ini menjadi salah satu desa yang maju di Kab. Kubu Raya, apalagi setelah wilayahnya dilewati jalur Trans Kalimntan yang menghubungkan Kal-Bar dengan provinsi lainnya di pulau Kalimantan bahkan ke Malaysia (Sarawak) dan Brunei. 

Sebagian besar masyarakat berkebun karet dan beternak, sebagian juga membuka usaha disepanjang jalan Trans Kalimantan.

Suasana Desa Jawa Tengah ini juga dapat dilihat di video berikut ini



Ternyata Disini Letak Titik 0 Kilometer di Pontianak


Jika mendengar kata 0 km di Kota Pontianak, pasti banyak yang mengira bahwa Tugu Khatulistiwa menjadi penanda. Jawabannya kurang tepat. Karena Tugu Khatulistiwa adalah penanda dari garis pemisah antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan.

Lantas, apa makna dari 0 km sebenarnya? Dikutip dari bloggerborneo, titik 0 km merupakan patokan untuk mengukur jarak dari ibu kota negara atau provinsi ke daerah atau kota lain. Bahkan, di beberapa negara,titik 0 km dijadikan sebuah simbol khas dari kota tersebut.

Di Kota Pontianak, titik 0 Km terletak di Pasar Siantan, tak jauh dari Dermaga Penyeberangan Siantan yang terletak di Kelurahan Siantan Tengah, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak. Jika menyeberang dari Taman Alun Kapuas, maka letak patok ini persis berada di sebelah kanan dermaga Siantan.

Dari bentuknya cukup sederhana, yaitu sebuah monumen angka 0 (nol) dan bertuliskan Patok Pontianak Nol Kilometer di bawahnya. Tepat disebelahnya ada sebuah patok kecil bertuliskan PTK 0 dan MPW 67 yang menandakan Kota Mempawah berada 67 km dari patok tersebut.


Patok ini juga merupakan penanda awal pembuatan jalan Pontianak – Sambas pada akhir abad ke-19. Artinya, jalan dan patok ini mempunyai nilai sejarah yang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena inilah jalan pertama yang dibuat pemerintah Kolonial Belanda di Kalimantan Barat. 

Jika datang ke Kota Pontianak, selain datang ke Tugu KHatulistiwa, tidak ada salahnya juga untuk singgah sebentar untuk mengabadikan momen berada di titik 0 Kota Pontianak. Masih penasaran, bisa juga cek video Keliling Kampong Keliling Kote dibawah ini.




Inilah Sekolah Pertama di Kota Pontianak



Kokoh, unik, bersejarah. Tiga kata yang mungkin bisa mewakili keberadaan bangunan ini. Bagaimana tidak, bangunan ini tampak kuno dan sangat berbeda dengan bangunan kebanyakan lainnya. Seluruh struktur bangunannya menggunakan kayu belian.




SD Negeri 14 Pontianak dibangun pada tahun 1902 oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk pendidikan volkschool atau sekolah rakyat. Bangunan dengan berbahan dasar kayu belian ini merupakan salah satu sekolah pertama yang ada di Pontianak sebgai Hollandsch Indlandsche School (HIS), atau setingkat dengan Sekolah Dasar (SD). Awalnya, sekolah ini didirkan oleh Pemerintah Hindia Belanda hanya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Baru pada tahun 1928, Pemerintah Hindia Belanda memberikan pendidikan kepada orang pribumi. Namun, hanya anak-anak petinggi dan pejabat saja yang diperbolehkan. Sedangkan anak-anak Indonesia yang berasal dari orang kebanyakan tidak diperbolehkan. Barulah setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1950, masyarakat diperbolehkan dan mempunyai kesempatan merasakan mengenyam pendidikan di sekolah ini.




Sekarang, bangunan ini tidak lagi difungsikan dikarenakan SD Negeri 14 sudah punya gedung baru tepat di belakang bangunan yang lama. Tapi, sebagai salah satu dari empat belas cagar budaya di Kota Pontianak, keberadaan dan keaslian bangunan ini tetap dipertahankan untuk memperlihatkan bukti-bukti sejarah agar masyarakat dapat mengetahui tentang sejarah-sejarah di Kota Pontianak.  




SD Negeri 14 Pontianak (Foto diambil dari bangunan SD Negeri 14 Pontianak yang baru)

Inilah Vihara Tertua di Kota Pontianak


Vihara Bodhisatva Karaniya Metta
Di atas gapura masuk vihara terdapat keterangan yang menunjukkan tahun 1829 M sebagai periode vihara ini dan di rehab permanen pada tahun 1906. Vihara Bodhisatva Karaniya Metta merupakan gabungan dari 3 Klenteng. Dua Klenteng sebelumnya terletak di Parit Pekong dan Sheng Hie. 

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta
Kedatangan saya ke vihara tertua di Kota Pontianak ini pun langsung disambut oleh juru vihara yaitu Pak Apeng. Beliau bahkan dengan senang hati menceritakan sejarah dan makna dari setap sudut bangunan dan benda-benda yang ada di vihara ini.

Warna merah mendominasi hampir di sebagian besar bangunan yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng Tiga atau Thian Hou Keng. Tiang dan rangka bangunannya terbuat dari kayu belian yang diberi warna merah dan kuning emas. Di tiga pintu utama terlukis gambar dewa-dewa Kong Hu Cu. Dinding dan altar terdapat patung dan lukisan yang bermakna tentang filosofi ajaran kehidupan.
Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Kelenteng ini sering ramai dikunjungi setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan imlek. Mereka yang datang tidak hanya dari seputar Pontianak namun mereka juga datang dari luar kota. Selain itu, untuk merawat, menjga dan menjalankan keberadaan vihara ini, pada tahun 1983 dibentuklah Yayasan Bodhisatva Karaniya Metta.

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara ini terletak di Jalan Sultan Muhammad Kampung Darat Sekip, Kelurahan Darat Sekip, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Letak klenteng persis di ujung pertemuan ruas jalan Sultan Muhammad dan jalan Gusti Ngurah Rai, Pontianak, tak jauh dari komplek pertokoan Kapuas Indah. Selain merupakan vihara tertua di Kota Pontianak, vihara ini juga merupakan salah satu dari empat belas cagar budaya yang ada di Kota Pontianak.

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta


Foto : Riz


Mengenal Sejarah Kayong Utara




Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1936 Kabupaten Ketapang atau yang dikenal dengan nama tanah Kayong Utara adalah salah satu daerah Afdeling yang merupakan bagian dari Keresidenan Kalimantan Barat (Residentis Western Afdeling van Borneo) dengan pusat pemerintahannya di Pontianak.

Kabupaten Ketapang ketika itu dibagi menjadi tiga Onder Afdeling, yaitu Onder Afdeling Sukadana, berkedudukan di Sukadana, Onder Afdeling Matan Hilir, berkedudukan di Ketapang serta Onder Afdeling Matan Hulu, berkedudukan di Nanga Tayap. Masing-masing Onder Afdeling dipimpin oleh seorang Wedana.

Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi lagi menjadi Onder Distrik, yaitu Onder Afdeling Sukadana terdiri dari Onder Distrik Sukadana, Simpang Hilir dan Simpang Hulu, Onder Afdeling Matan Hilir terdiri dari Onder Distrik Matan Hilir dan Kendawangan serta Onder Afdeling Matan Hulu terdiri dari Onder Distrik Sandai, Nanga Tayap, Tumbang Titi dan Marau. Masing-masing Onder Distrik dipimpin oleh seorang Asisten Wedana.

Afdeling Ketapang terdiri atas tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Matan, yang membawahi Onder Afdeling Matan Hilir dan Matan Hulu.



Kerajaan Sukadana, yang membawahi Onder Distrik Sukadana dan Kerajaan Simpang, yang membawahi Onder Distrik Simpang Hilir dan Simpang Hulu. Masing-masing kerajaan dipimpin oleh seorang panembahan. Sampai tahun 1942, Kerajaan Matan dipimpin oleh Gusti Muhammad Saunan, Kerajaan Sukadana dipimpin oleh Tengku Betung dan Kerajaan Simpang dipimpin oleh Gusti Mesir.

Masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir setelah datangnya bala tentara Jepang pada tahun 1942. Pada saat itu, Kabupaten Ketapang masih tetap dalam status Afdeling, hanya saja pimpinan langsung diambil alih oleh Jepang. Kemudian pada tahun 1945, pemerintahan pendudukan Jepang berakhir setelah kalah pada perang dunia II. Sehingga kekuasaannya diganti oleh Pemerintahan Tentara Belanda (NICA). Pada masa ini bentuk pemerintahan yang ada sebelumnya masih diteruskan. Kabupaten Ketapang berstatus Afdeling disempurnakan dengan Stard Blood 1948 Nomor 58 dengan pengakuan adanya Pemerintahan Swapraja.



Pada waktu itu Kabupaten Ketapang terbagi menjadi tiga pemerintahan swapraja, yaitu Sukadana, Simpang dan Matan. Kemudian semua daerah swapraja yang ada digabungkan menjadi sebuah federasi. Pembentukan Kabupaten Ketapang berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 1956 yang menetapkan status Kabupaten Ketapang bagian Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat yang dipimpin oleh seorang bupati hingga kini.

Namun, pada tanggal 2 Januari 2007, UU RI Nomor 6 Tahun 2007, tentang pembentukan Kabupaten Kayong Utara telah diterbitkan pemerintah. Dan pada tanggal 19 Juni 2007, Menteri Dalam Negeri Ad Interim, Widodo AS atas nama Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Kabupaten Kayong Utara sebagai kabupaten ke-13 di Kalbar sekaligus melantik Pj Bupati Kayong Utara, Sy. Umar Alkadri.

Setahun masa transisi berlalu, untuk kali pertamanya, sebanyak 61.852 orang di lima kecamatan telah menggunakan hak pilihnya pada pemilu KKU yang digelar secara langsung, Senin (5/5) lalu dengan tiga kandidat yang bertarung memperebutkan posisi bupati dan wakil bupati.

Alhasil, pasangan Hildi Hamid - M. Said pun dipercaya rakyat untuk memimpin tanah kayong periode 2008 - 2013 sebagai bupati dan wakil bupati dengan meraih 27.460 suara (60,31%) mengalahkan dua kandidat lainnya yakni pasangan Citra Duani - Adi Murdiani dan Ibrahim Dahlan - Djumadi.

H. Hildi Hamid

KPU Ketapang pun akhirnya menetapkan perolehan suara tersebut pada Kamis (15/5) yang ditembusannya langsung ke 17 instansi terkait di antaranya Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalbar, KPU Provinsi serta Bupati Ketapang.

Pantai Pulau Datok

Masjid Oesman Al Khair

Inilah Surau Tertua Di Kota Pontianak



Seperti kita ketahui, Masjid Jami Sultan Syarif Abdurahman merupakan masjid tertua di Pontianak yang berdiri pada tahun 1771 M. Nah, Untuk kategori surau tertua di Kota Pontianak, ternyata juga berada tak jauh dari lokasi Masjid Jami. Surau Bait Annur namanya.

Surau Bait Annur
Kesan tenteram mungkin akan kita rasakan atau juga kecerahan jiwa. Surau Bait Annur yang berarti Rumah Cahaya ini didirikan pada tahun 1216 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1802 pada penanggalan masehi. Tertera nama nakhoda Ahmad sebagai pendirinya.

Surau Bait Annur

Surau Bait Annur
Sosok nakhoda Ahmad merupakan seorang nakhoda kapal yang membawa rombongan Sultan Syarif Abdurrahman sampai ke daerah delta Sungai Kapuas ini.

Menurut Soedarto, sejarawan Kalbar, bagian atap yang sekarang ini sudah tidak asli. Gaya "Banjar" sudah tidak terlalu terlihat. Untuk daun pintu juga telah direnovasi dengan gaya Eropa.

Surau Bait Annur

Surau Bait Annur
Sebagai salah satu dari empat belas benda cagar budaya yang telah ditetapkan, sentuhan perawatan dan pemeliharaan tentunya akan membuat bangunan ini jauh lebih apik. Karena selain memiliki sejarah yang panjang, surau ini juga tetap digunakan dan difungsikan sampai saat ini.

Surau Bait Annur

Surau Bait Annur

Surau Bait Annur

Sumber : Pontianak Heritage
Edited by : Riz
Photo by : Riz



Kampong Tambelan Sampit dan Sejarahnya


Kampong Tambelan Sampit

Sejarah panjang Kampong Tambelan Sampit, tidak akan terpisah dari nama Panglima Abdurrahman. Beliau merupakan Panglima Kesultanan Pontianak di masa Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Panglima Abdurrahman bergelar Dato' Kaya/Tok Kaye Abdurrahman, berasal dari daerah Tambelan. Beliau juga pernah menjadi Panglima di Kerajaan Siak Sri Indrapura-Riau.

Berdasarkan beberapa data tulisan yang berkenaan dengannya, ketika di Kerajaan Siak sedang terjadi perebutan kekuasaan dengan intrik-intrik politiknya, Panglima Abdurrahman bersama keluarga besarnya meninggalkan Siak kemudian menuju ke Pontianak hingga beranak cucu di Pontianak.

Gertak Kampong Tambelan Sampit

Kesultanan Pontianak waktu itu belum lama berdiri dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai sultan pertamanya. Setelah datang bersilaturahim dan diterima oleh Kesultanan Pontianak. Karena kecakapan dan keekatannya, Panglima Abdurrahman kemudian diperkenankan untuk membuka suatu areal tanah yang tak seberapa jauh dari kawasan Istana Kadriah. Di areal ini kemudian menjadi pemukiman dan bernama Kampong Tambelan, sesuai dengan asal daerah Panglima Abdurrahman yaitu Pulau Tambelan.

Namun, ada juga versi cerita yang sedikit berbeda berkenaan dengan penamaan kampong ini. Konon, ada cerita yang mengatakan asal muasal penamaan kampung ini dari kata Kampong Timbalan Raja. Maksudnya adalah suatu kampong yang dipimpin oleh seorang timbalan/wakil sultan. Hal ini karena begitu dekatnya Panglima Abdurrahman dengan sultan ketika itu sehingga keberadaan Panglima Abdurrahman sudah dianggap sebagai wakil/timbalan raja (Timbalan Sultan).

Kemudian, Panglima Abdurrahman mempunyai keturunan bernama Abdurrani yang juga menjadi Panglima Kesultanan Pontianak. Panglima Abdurrani bergelar Tok Kaye Mude Pahlawan, juga Tok Kaye Setia Lile Pahlawan. Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Kampong Tambelan Sampit, tepatnya di dekat Masjid Al-Mu'minun.

Kampong Tambelan Sampit

Ada begitu banyak tokoh yang berasal dari Kampong Tambelan Sampit ini, di antaranya Haji Ismail bin Haji Abdul Latif atau lebih dikenal dengan Ismail Jabal (Adviseur Penasehat Agama Kesultanan Pontianak). Haji Ismail bin Haji Abdurrahman (Tokoh adat), Haji Ismail bin Haji Mustapa (Ahli tabib pengobatan, penulis buku ilmu pengobatan), dan Muhammad Umar bin Encik Harun bin Malim Bungsu (Tokoh ulama Melayu, penulis tentang ilmu pelayaran, penulis Sya'ir Negeri Tambelan).

Di Kampong Tambelan Sampit ini juga terdapat sebuah rumah panggung arsitek khas melayu tempo dulu yang terletak di tepian Sungai Kapuas milik Abah M Nur Hamzah yang telah berdiri kokoh sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1932.

Rumah milik Abah M Nur Hamzah. rumah panggung arsitek khas melayu tempo dulu yang terletak di tepian Sungai Kapuas, telah berdiri kokoh sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1932.

Kampong Tambelan Sampit kini menjadi kelurahan dengan nama yang sama. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 7.069 jiwa dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Pontianak Timur. Kini, Kampong Tambelan Sampit sedang dibangun sebuah waterfront agar para wisatawan bisa menikmati suasana kampung khas Kota Pontianak, melihat panorama sungai kapuas, hingga melihat aktivitas masyarakat di tepian sungai.

Memancing di Kampong Tambelan Sampit

Kecil-kecil cabe rawit. Menarik jala udang dari atas pagar (Kampong Tambelan Sampit)

Warga sekitar Kampong Tambelan Sampit sedang bersantai sore

Kampong Tambelan Sampir

Sunset di Kampong Tambelan Sampit berlatar Sungai Kapuas dan kawasan modern di seberang

Sumber : Pontianak Heritage terbitan 2013
Edited by : Riz
Photo by : Riz

Pangsuma, Panglima Perang dari Meliau




Kegigihan seorang Pangsuma melawan tentara Jepang pada tahun 1945 telah membakar semangat masyarakat Kalbar yang lain ketika itu untuk mengusir penjajahan Jepang.

Informasi kematian salah satu pejuang Kalbar dan Panglima Perang ini, tidak menyurutkan para anggota Perang Majang (pasukan pimpinan Pang Suma) saat itu untuk melanjutkan perjuangan.

Mereka justru bergelora untuk mengusir Jepang dari Bumi Kalimantan Barat. Seperti di Ngabang yang dipimpin Panglima Batu, di Sanggau oleh Panglima Burung serta di Ketapang oleh Panglima Banjing dan Pang Layang.

"Mereka lakukan agar Jepang mengakhiri kekejamannya dan pergi dari Kalbar," tutur Peneliti Sejarah pada Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar, Dra. Juniar Purba.

Pangsuma adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.

Anak ke-3 dari 6 bersaudara ini memiliki nama asli Bendera bin Dulung. Namun ada pula yang menyebutnya Menera. Arti nama Pangsuma sendiri adalah Bapak si Suma. Panggilan dengan menggunakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yag paling besar. Ini dikarenakan agar lebih sopan daan hormat daripada menyebut nama langsung orang tersebut.

Menjelang akhir hayatnya, ia telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco (Camat) Meliau pada 17 Juli 1945.

Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang.

"Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pangsuma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pangsuma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang.

Perjuangannya adalah pengorbanan yang patut dijadikan berikan apresiasi bagi masyarakat Kalbar dan pemerintah meskipun dia dan keluarganya tidak mengharapkan imbalan apapun.

Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan pengorbanan pahlawannya. Sehingga tentunya patut diberikan. Dan generasi mendatang wajib mencontoh dan mengambil hikmah yang telah dikorbankan Pangsuma dalam membela bangsa dan tanah air.

Sumber : berkattv.com